Dina Listiorini on Wordpress

Para mis estudiantes

Dilarang Sukses Sendiri June 19, 2008

Filed under: Sepanjang Jalan — belladina @ 11:30 pm

Tulisan ini kubuat gara-gara aku “feel lost” sama si abang penjual batagor yang berjualan di trotoar depan SD jalan Babarsari. Mungkin sepele, ya, penjual batagor dan tidak bernilai berita untuk dijadikan sebuah artikel. Tapi alasan (meski tidak jelas benar) mengapa dia tidak lagi nongkrong berjualan di situ yang membuatku mengelus dada. Si abang penjual batagor berasal dari Jawa Barat (dulu dia pernah menyebutkan asalnya) dan berharap bisa mendapat sedikit tambahan rejeki dari usahanya itu. Batagor buatannya tidak terlalu istimewa, tidak seenak batagor Mang Mudi, Kang Cepot atau yang lainnya. Tapi menurutku agak berbeda, karena rasanya krispi, kriuk-kriuk. Aku juga selalu melihat minyak untuk menggoreng relatif lebih jernih, tidak coklat buthek seperti lazimnya penjual gorengan pinggir jalan.  Iseng-iseng pernah kutanya, jawabnya, “Pakai minyaknya tidak usah terlalu banyak, Bu, biar langsung bisa nuang yang baru”. Oke juga nih, si abang. Fakta lain adalah batagor si abang ini termasuk salah satu yang laris diserbu para penggemarnya, para bocah cilik saat jam istirahat. Tahun lalu harganya Rp 500 per buah, satu porsi batagor berisi 4 buah. Tapi para fans cilik itu biasanya membeli per satuan.

 

Si abang tidak berjualan sendiri, ada beberapa pedagang lain yang juga berjualan di situ. Waktu kutanya ke mereka tentang si abang yang sudah beberapa hari “absen” alias mangkir tidak berjualan, mereka seolah acuh tak acuh dan terkesan tidak mau tahu. Malah ada yang berkomentar “Malahane, bu, didum liyane”  kira-kira artinya bagus-lah, bisa dibagi ke yang lain. Aku jadi mikir, apa si abang dtolak dengan halus oleh kelompok itu, ya, karena dagangannya paling laris dibanding yang lain? No entiendo. Aku tidak mengerti. Yahhh…padahal aku berhutang pada Bu Tyas, rekanku dari Sosiologi, aku pernah janji membawakan dia batagor si abang ini…si abang yang mangkal depan SD Babarsari.

 

Aku jadi teringat sama warten (warung tenda) lontong sayur Sumatra Uda Asdi yang awalnya mangkal di depan Mai-Mai seputaran Babarsari. Si mbak yang menjalankan warten itu terpaksa angkat kaki dan memindahkan jualannya ke sebelah utara, 300 meter dari tempat semula. Padahal belum lama ia berdagang di tempat itu. Tempatnya berdagang diminta oleh pemilik lapak yang menyewakan tempat itu padanya. Si pemilik lama kemudian berdagang makanan yang sama, yakni lontong sayur ditambah diversivikasi jenis sarapan lain yakni nasi kuning. Tapi ya namanya rejeki sudah diatur “Sama Yang Di Atas”, lontong sayur itu kog ndilalah gak laku. Padahal harganya lebih murah 500 perak. Sementara warten si mbak yang pindah ke utara larisss manisss dan tetap dicari (termasuk aku dan suamiku).

 

Ternyata hal yang kurang lebih sama terjadi pada Imam. Dia itu si mas tukang bakso yang selama lebih dari 10 tahun ngider dari gang ke gang di sekitar rumahku di kawasan Ketintang Baru, Surabaya. Baksonya enak, dan sangat khas. Dia juga kreatif. Kurasa dialah yang pertama kali mempopulerkan bakso telur puyuh dan bakso kotak di kawasan ini. Imam juga nggak pelit. Dia suka menambahkan 1 bakso kotak atau 1 gorangan, gratis untuk para pelanggannya. Dia juga murah senyum. Untuk masa itu, Imam memang TEOPEBEGETE!!! Hasil dari pengiderannya itu, dia pacaran dan akhirnya menikah dengan salah satu pembantunya Bu Sulkan tetangga depan rumahku.

 

Tapi bukan soal love story mereka yg ingin kuceritakan. Mas Imam ini, 2-3 tahun lalu tidak ngider lagi. Dia mangkal di depan Royal Mall, sebuah mall baru dekat rumahku di kawasan Ahmad Yani-Ketintang. Mulanya dia mangkal persis di depan pintu masuk mall. Dan seperti halnya saat dia masih ngider, baksonya juga memiliki banyak fans. Ada tulisan Bakso Cak Imam terpampang di depan kiosnya. Lama tak pulang, bulan Mei 2008 lalu aku ke Surabaya dan lewat depan Royal Mall. Tapi aku tidak melihat warung baksonya Imam. Ketika kutanya mamaku, katanya, “Imam wes pindah. Nggone minggir ngulon beberapa meter. Nggone mbiyen dijaluk karo sing nduwe, kanggo dodolan bakso. Ga disenengi karo liyane. Gak oleh masang jeneng”. Dan ketika aku cari, warung semula dia berjualan memang digunakan untuk berjualan…bakso. Dan Imam memang harus “mengalah”, karena dia butuh survive. Plakat “Bakso Cak Imam” terpasang di bawah gerobak, dekat roda. Ga tau deh, sekarang seperti apa….

 

Yang paling menyedihkan kalau menurutku adalah nasib yang menimpa warung seafood Pak Untung yang letaknya dekat supermarket Pamella Condong Catur. Mbak Yenny, istri pak Untung mengelola sekaligus menjadi jurumasak utama warung ini. Tentu saja aku salah satu pelanggan setianya. Warung seafood ini enak, bumbunya berbeda dengan masakan seafood lain. Cara memasak utamanya adalah dibakar. Jenis ikannya pun beragam. Masakan favoritku adalah barakuda bakar dan cumi goreng tepung. Kriuk sekali. Jadi inget deh sama abang batagor….

 

Oh ya, sebelum lupa, di sebelah kios pak Untung ini, ada sebuah kios pulsa seluler yang ternyata dikelola oleh kakak ipar mbak Yenny. Konon, kios itu termurah di antara kios-kios sejenis di sepanjang jalan itu. Setelah setahun mangkal di situ, mbak Yenny meng-sms-ku, memberitahu bahwa dua hari lagi warungnya akan tutup. Pemilik kios sudah meminta hak sewanya kembali dan akan menyewakannya ke orang lain. Singkat kata, sekali lagi aku kehilangan makanan favoritku….

 

Dan ternyata….kios pulsa dan warung mbak Yenny berubah menjadi warung ayam kremes. Namanya apa ya…?aku lupa….nanti deh kalau ingat. Dengan dandanan yang berbeda, warung itu berubah menjadi semacam mini resto. Warnanya pun ngejreng…kuning ceria…tapi sepi…sepanjang aku mondar-mandir melewatinya, aku tidak pernah melihat kerumunan orang makan di sana. Aku juga ogah makan disana…bukan karena aku sebel sama kios baru itu, tapi aku memang ngga makan daging ayam!

 

Jadi ya…kayanya semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa….

 

Berkeluh-kesah (part 1)

Filed under: Sepanjang Jalan — belladina @ 10:09 pm

Seorang teman dari Papua menyapaku lewat YM 2-3 hari lalu. Sudah agak malam, sebetulnya, tapi kebetulan aku baru saja selesai online kursus bahasa Spanyol dengan senora Monica Iturbide dari Argentina. Setelah bersay-hello dan berbasa-basi secukupnya, temanku itu menceritakan apa yang sedang dilakukannya. Aku agak heran karena tidak biasanya dia online malam hari. Berikut percakapan kami yang sudah kuedit seperlunya tanpa menghilangkan maknanya:

A (aku) : Tumben nih, malem2 ol

T(temen) :  , “Iya nih mbak, aku online malem-malem gini, karena ada deadline, harus setor laporan ke Germany.”

A: Lho, bukannya kamu sedang menyiapkan kerja untuk pemda B di Papua?

T: Iya, tapi itu lain lagi mbak, udah hampir kelar. Yang ini belum

A: Wah, hebat ya. Kamu energik sekali dan bisa jadi contoh lho, untuk pemuda di Papua

T: Trims, mbak, tapi ya begini ini, aku cape banget. Ini aja belum selesai, aku udah diminta buat proposal baru lagi. Abis d, tenagaku. Mana mesti kerja keras terus…hampir ga tidur, mbak….

A: Well, itu artinya kamu diberi kesempatan dan kepercayaan. Ga banyak orang yang diberikan kebaikan seperti itu. Jangan mengeluh dong.

T: Ya gimana ga mengeluh, mbak, belum habis yang ini, udah ada yang itu. Sampe pusing ni mbak.

A: I see…tapi, kamu juga harus sadar, dong, bahwa apapun yang kamu lakukan pasti ada resikonya. Selalu akan ada pertanggungjawaban atas semua yang kita perbuat. Apapun.

T: Iya bu dosen…

A: Halaah…Gini lhoo, kalo menurutku, lebih baik jangan mengeluh. Syukuri apapun yang kamu terima, karena itu semua berkat dari Tuhan.

T: Siap bu dosen! (sumpah, sebenernya aku dah mo manyun sama temenku dengan cara dia menambahi kata2 “bu dosen”..tapi ya wes, lah, gayanya orang bisa beda-beda…)

A: Mengeluhlah bila hari ini kamu ga sempet berdoa dan mengucap terimakasih kepadaNya. Mengeluhlah bila kamu merasa jauh dari keluarga, istri dan anak-anakmu. Mengeluhlah bila kamu ga bisa memberi sesuatu untuk orang lain. Mengeluhlah bila kamu merasa telah melakukan kesalahan dan merugikan orang lain. Tapi untuk sesuatu yang kamu terima sebagai suatu berkah atau rahmat dari Tuhan, apapun itu…jangan mengeluh. Syukurilah. Sekalipun itu kamu terima dalam bentuk berbagai cobaan yang menyakitkan.

T: Makasih ya mbak

A: Sorry ya, kalo aku ngocehnya kepanjangan…dan belum tentu aku juga mampu melakukan semua yang telah aku katakan tadi…I’m just a human being, dear. That’s why I’m so easy to say like that! Maksudnya, mumpung kalo ngomong bisa gratisss! Coba kalo ngomong di YM berbayar…waaaaaa…kayanya ga segitunya d…

T: Wakakakakak…waaa…sipp mbak, met malem

A: Bye…

(Sejujurnya sih, ngocehnya aku sangat panjang…tapi bisa membosankan kalo ditulis semuanya…)